Bab 1: Kursi yang Tak Pernah Diduduki

Langit sore menjingga saat derap langkah para tamu memenuhi taman kecil tempat pernikahan Amara digelar. Lentera-lentera kaca tergantung anggun di antara ranting pohon, dan deretan kursi putih tersusun rapi menghadap altar yang dihias bunga lili dan daun kering musim semi. Semuanya tampak sempurna, seperti diambil dari halaman terakhir buku dongeng.
Kecuali satu hal.


Kursi kosong di barisan paling depan. Kursi itu selalu ada di setiap pernikahan, semua orang tahu. Bahkan dalam dongeng, bahkan dalam tradisi. Tak seorang pun berani mendudukinya, dan tak pernah ada yang menanyakan mengapa. Hanya sebuah keyakinan turun-temurun: kursi itu bukan untuk manusia biasa.

Amara berdiri di balik tirai putih, menanti isyarat untuk melangkah menuju altar. Jantungnya berdebar pelan, bukan karena gugup—tapi karena ada sesuatu yang terasa… ganjil. Ia memandang barisan kursi, pandangannya terpaku pada yang kosong itu.

Kursi itu menatapnya. Ia merasa seperti tengah diawasi, meski tak ada siapa pun di sana.

Ayahnya menepuk pelan punggung tangannya. “Sudah siap, Nak?”

Amara mengangguk pelan. Tapi tak sepenuhnya yakin. Angin bertiup lembut, membawa aroma bunga kering dan hujan yang belum turun. Musik gesek mulai dimainkan. Tirai terbuka.


Langkah demi langkah ia berjalan menuju altar, tersenyum pada para tamu. Tapi pikirannya tak lepas dari kursi itu. Kosong. Diam. Dan entah kenapa terasa sangat penuh.

Calon suaminya, Evan, berdiri menunggunya dengan senyum lega. Tapi sebelum mereka sempat saling menggenggam tangan, sesuatu terjadi.

Dari sudut matanya, Amara melihat seseorang duduk di kursi itu.

Seorang pria. Asing. Tak ada yang tahu siapa dia. Tak ada yang mengantar. Ia muncul begitu saja, mengenakan pakaian gelap seperti bayangan. Wajahnya pucat tapi tidak menyeramkan. Hanya… seperti wajah yang pernah ia lihat dalam mimpi yang terlupa.

Dan saat pria itu duduk, dunia berhenti.

Musik membeku di udara. Angin tak lagi bertiup. Daun yang seharusnya jatuh terhenti di pertengahan udara. Para tamu diam dalam pose terakhir mereka—beberapa tengah tertawa, beberapa tengah memotret, beberapa tengah berdoa.

Evan tidak bergerak. Tatapannya tetap ke depan, membeku bersama waktu.

Amara gemetar. Ia berbalik, mencari jawaban, tapi semuanya diam. Dunia sunyi.

Kecuali pria itu.


Ia berdiri perlahan dari kursi kosong, seperti tak terbebani oleh hukum waktu yang membekukan semua. Matanya menatap Amara dengan kesedihan yang tak bisa dijelaskan. Tatapan seseorang yang menunggu terlalu lama.

“Kau akhirnya datang,” katanya.

Suara itu lembut, namun bergema seakan berasal dari dalam dirinya sendiri.

Amara melangkah mundur, napasnya terputus-putus. “Siapa kamu? Apa yang terjadi?”

Pria itu menatap sekeliling. “Waktu berhenti. Karena kau belum menepati janjimu.”

“Apa maksudmu? Janji apa?” Amara mengerutkan dahi, kebingungan dan ketakutan.

“Kau pernah menjanjikan sesuatu padaku. Di kehidupan yang tidak pernah terjadi. Di masa lalu yang dilupakan dunia.”

Amara menggeleng. “Aku tidak mengenalmu.”

Pria itu tersenyum miris. “Kau mungkin tidak ingat. Karena waktu kita pernah diputar ulang. Tapi jiwamu masih menyimpan pecahan-pecahan itu. Dan kursi ini adalah saksi terakhir.”


Amara merasakan denyutan aneh di dadanya, seperti gema dari sesuatu yang pernah sangat berarti tapi terlupakan. Ia ingin berteriak, ingin membangunkan semua orang, tapi mulutnya kaku oleh ketidakpahaman.

“Apa yang kau inginkan dariku?” bisiknya.

“Aku ingin kau menepati janji-janji itu. Tujuh janji yang kau buat. Tapi tak pernah kau tepati. Jika kau tak bisa menemukannya, kita akan terjebak di sini selamanya.”

Amara menatap altar, menatap Evan yang diam seperti patung marmer. Menatap tamu-tamu yang tertahan dalam waktu.

“Aku tidak ingat janji apa pun,” katanya pelan.

“Kau akan mengingatnya,” kata pria itu. “Karena dunia tidak akan bergerak sampai kau menepatinya. Satu per satu.”

Ia mengulurkan tangan.

Amara memandang tangannya dengan ragu. “Dan kalau aku tidak mau?”

Pria itu menarik kembali tangannya perlahan. “Maka kau akan menikah dalam dunia yang mati. Dalam waktu yang tak pernah bergerak. Dan semua cinta yang kau pilih akan membeku di dalamnya.”


Kata-kata itu seperti cambuk dingin di dalam dada. Bukan karena ancamannya, tapi karena sesuatu dalam dirinya berbisik bahwa ia tahu… ia tahu pria ini tidak berdusta. Bahwa sesuatu pernah terjadi. Bahwa janji pernah dibuat. Dan bahwa cintanya—cinta yang ia pilih hari ini—mungkin bukanlah akhir dari segalanya.

“Siapa namamu?” tanya Amara akhirnya.

“Ruvan,” jawab pria itu. “Namamu pernah mengisi hidupku di kehidupan yang tak pernah diberikan waktu. Sekarang, aku hanya ingin waktu itu kembali.”

Amara menatap tangannya sendiri, lalu menatap Ruvan. Dunia di sekeliling mereka tetap diam. Tapi dadanya penuh dengan ketukan yang tak bisa dijelaskan. Ia tak tahu apakah itu rasa takut… atau awal dari sesuatu yang sudah terlalu lama tertunda.

Ia mengulurkan tangannya. Menyentuh telapak Ruvan.

Dan dunia berderak. Seperti buku yang perlahan dibuka dari halaman-halaman yang dibatalkan.

Waktu belum kembali.

Tapi perjalanan mereka sudah dimulai.
Got an error? Report now
Comments

Comments [0]