Bab 10: Janji Terakhir—Jika Dunia Harus Diam untuk Kita
Taman pernikahan kembali hidup.
Musik violin kembali mengalun lembut, tamu-tamu kembali tertawa, berdiri, dan bertepuk tangan pelan. Langit cerah. Angin membelai pelan gaun putih Amara yang kini berdiri di depan altar, berhadapan dengan Evan.
Semua tampak seperti semula.
Kecuali satu hal—dalam hati Amara, dunia telah berubah total.
Ia menatap Evan, pria yang telah bersamanya selama bertahun-tahun. Pria yang mencintainya dengan sabar, membangun rumah bersamanya, merencanakan masa depan yang aman. Tapi kini, semua itu terasa seperti lukisan indah yang dipajang di dinding… bukan kehidupan yang ia rasakan dalam nadinya.
“Amara?” panggil Evan lembut, menyadari sorot mata Amara yang berbeda.
Amara tersenyum. Lembut. Namun juga… hancur perlahan.
“Evan…” katanya, suaranya nyaris berbisik. “Aku ingin jujur… tentang siapa diriku sebenarnya.”
Para tamu mulai saling berpandangan. Pendeta mematung. Suara angin seperti berhenti, bukan karena waktu membeku lagi, tapi karena dunia kini memberi ruang bagi kebenaran yang nyaris tak pernah diucapkan.
“Aku pernah merasa bahagia denganmu. Tapi itu adalah kebahagiaan yang lahir dari ketenangan. Bukan dari keutuhan,” lanjut Amara. “Hari ini… aku ingat semuanya. Siapa aku. Siapa yang pernah bersamaku. Dan siapa yang pernah kujanjikan dunia.”
Air mata jatuh perlahan dari matanya.
“Dan aku sadar, jika aku melanjutkan semua ini… aku akan hidup dalam kebohongan yang tenang. Tapi jiwaku… akan tetap kosong.”
Evan menatapnya lama. Matanya berkaca-kaca. Tapi ia tidak menahan. Ia hanya mengangguk pelan, seolah sudah tahu jauh sebelum hari ini datang.
“Aku mengerti,” ucapnya lembut. “Dan meski ini menyakitkan… aku tahu kamu tidak pernah bermaksud menyakiti.”
Amara tersenyum pahit. Ia berjalan perlahan mundur dari altar. Dunia di sekitarnya masih bergerak, tapi baginya, waktu menjadi lebih jernih. Ia akhirnya berjalan sebagai dirinya sendiri—tanpa ketakutan, tanpa kebingungan.
Langkah demi langkah membawa Amara menjauh dari pelaminan, meninggalkan pesta yang sudah disusun rapi. Di kejauhan, kursi kosong itu masih ada. Tapi kini, ia tak lagi kosong. Ia telah menjadi saksi dari semua janji yang ditepati, semua luka yang dipeluk, dan semua cinta yang akhirnya kembali.
Dan di bawah pohon besar di tepi taman, seseorang berdiri.
Bukan cahaya, bukan bayangan, bukan mimpi.
Ruvan.
Hidup. Nyata. Dalam wujud manusia sepenuhnya. Mengenakan kemeja putih sederhana, senyumnya tenang. Tak ada kebingungan di matanya—hanya kelegaan yang dalam. Ia tak lagi bagian dari dimensi yang hilang. Ia telah kembali… karena Amara telah memilih.
“Waktu tak lagi perlu membeku untuk kita,” kata Ruvan saat Amara mendekat.
“Karena sekarang… kita bisa berjalan dalam dunia yang sama,” jawab Amara, matanya basah tapi penuh cahaya.
Ruvan mengulurkan tangan. Amara menggenggamnya. Hangat. Penuh kehidupan.
“Jadi ini akhirnya?” tanya Amara pelan.
“Tidak. Ini adalah awal dari dunia yang kita bangun sendiri. Tanpa perlu janji yang terlupa. Tanpa perlu dunia lain untuk saling menemukan,” ucap Ruvan.
Langit berganti warna. Tamu-tamu melanjutkan pesta tanpa menyadari perubahan besar yang baru saja terjadi di antara lapisan waktu. Dan di sudut paling sepi taman itu, dua jiwa berjalan menjauh dari panggung kehidupan yang dulu membekukan mereka.
Kini, tak ada yang harus dibekukan lagi.
Kini, tak ada yang harus dilupakan lagi.
Karena semua janji telah ditepati. Dan cinta yang dulu tertunda, akhirnya tiba—di dunia yang benar.
Berikan komentarmu