Bab 2: Pria dari Waktu yang Terhapus
Langkah kaki mereka bergema di antara kebekuan dunia yang tak lagi bergerak. Setiap jejak menyentuh tanah, tapi tak membangkitkan satu pun perubahan. Daun tetap tergantung di udara, burung-burung beku di tengah kepakan, dan waktu seperti ditulis ulang dengan tinta yang belum kering.
Amara menggenggam tangan Ruvan, namun masih penuh keraguan. Ia berjalan di sisi pria asing itu, mengitari para tamu yang membatu seperti patung, melewati altar, mendekati lorong taman yang tak pernah ada sebelumnya—sebuah celah di antara dua semak yang entah sejak kapan terbuka. Di balik celah itu, terdapat jalan berliku dari batu dan cahaya redup, seperti mimpi yang dipaksakan menjadi nyata.
“Ke mana kita pergi?” tanya Amara, menoleh dengan napas masih berat.
“Ke tempat di mana waktu menyimpan semua yang ditinggalkan. Di sana kau akan mulai mengingat,” jawab Ruvan.
“Kalau semua ini cuma ilusi, kenapa aku bisa merasakannya begitu nyata?”
“Karena janji itu nyata. Lebih nyata dari hidup yang kau jalani sekarang.”
Jawaban itu mengguncang sesuatu dalam dada Amara. Ia menatap Ruvan diam-diam, mencoba menguraikan siapa dia sebenarnya. Matanya tak tampak asing, tapi juga bukan seperti yang ia kenali. Seolah jiwa mereka pernah berdampingan dalam bentuk lain, di dunia lain.
“Kenapa aku? Dari semua orang, kenapa kamu memilih mengganggu hidupku?” ucap Amara lebih tajam.
“Aku tidak memilihmu,” jawab Ruvan. “Kau yang dulu memilihku. Tapi waktu merenggut semua ingatan itu, mengganti jalan cerita hidupmu. Dan sekarang, kau sedang berjalan di pernikahan yang bukan milik hatimu.”
Amara berhenti. “Kau tidak tahu apa-apa tentangku.”
“Aku tahu segalanya. Bahkan hal yang tak kau izinkan dirimu sendiri untuk tahu.”
Ruvan menoleh padanya, menatap tanpa permusuhan. Tatapannya menyampaikan luka yang telah lama dipendam. “Amara… ini bukan tentang membatalkan pernikahanmu. Tapi tentang mengembalikan sesuatu yang sempat hilang dari jiwamu. Sesuatu yang pernah kau perjuangkan begitu keras, tapi kemudian kau lupakan demi hidup yang lebih stabil.”
Amara kembali melangkah, tak menjawab. Jalan yang mereka lalui kini berpendar pelan, seolah menyala oleh kenangan. Di ujungnya, sebuah pintu kayu berdiri sendiri, tanpa bangunan yang menaunginya.
“Pintu ini,” kata Ruvan pelan, “membawa kita ke serpihan pertama. Sebuah janji yang kau buat dalam ketakutan.”
“Apakah aku akan mengingatnya begitu masuk?”
“Kau tidak akan langsung ingat. Tapi jiwamu akan mengenalnya.”
Amara menghela napas. “Dan kalau aku tidak berhasil mengingatnya?”
“Pintu akan menutup. Dan kita akan kehilangan satu-satunya kesempatan untuk membuka sisa waktu.”
Ruvan menempatkan tangannya di gagang pintu. Tapi tak membukanya. Ia menatap Amara, memberi ruang bagi pilihan.
Amara menatap pintu itu. Ia tak tahu kenapa tangan dan jantungnya bergetar bersamaan. Seperti tubuhnya sudah tahu apa yang ada di baliknya, tapi pikirannya belum sempat menangkapnya.
Ia mendorong pintu itu perlahan.
Dan dunia berubah.
Ia berdiri di tengah lorong sekolah dasar, dengan seragam kecil di tubuhnya dan rambut dikuncir dua. Udara penuh aroma kapur tulis dan hujan basah di luar jendela. Suara tawa anak-anak terdengar samar, dan Amara kecil tengah berdiri sendirian di pojok lorong, menangis diam-diam.
“Aku tahu tempat ini…” gumam Amara dewasa.
Dari ujung lorong, seorang anak laki-laki menghampiri. Ia membawa payung rusak dan satu kantong plastik berisi dua roti isi. Tanpa bicara, ia duduk di sebelah Amara kecil dan memberikan salah satu rotinya.
“Jangan menangis. Aku juga sering dikunci di ruang guru karena berisik. Tapi mereka nggak jahat, kok.”
Itu suara Ruvan. Tapi dalam tubuh bocah berusia tujuh tahun. Amara dewasa terdiam.
Amara kecil mengangguk pelan dan berkata, “Kalau suatu hari aku punya teman baik, aku nggak akan ninggalin dia meski dunia bilang dia aneh.”
Seketika, semuanya membeku. Pintu muncul kembali di dinding koridor. Ruvan dewasa berdiri di sampingnya.
“Janji itu yang pertama,” bisik Ruvan.
Amara menunduk. “Itu janji yang kulanggar… Aku bahkan tak ingat siapa anak itu sampai sekarang.”
“Anak itu adalah aku. Dan setelah hari itu, kita berteman selama dua tahun. Tapi saat keluargaku pindah dan aku tak mengucap selamat tinggal, kau menghapusku. Karena kau benci dilupakan, dan kau memilih melupakan lebih dulu.”
Air mata turun perlahan dari mata Amara. Bukan karena sedih, tapi karena rasa bersalah yang seolah baru terbit di dalam jiwanya. Ia bahkan tak tahu bahwa kenangan itu ada. Tapi tubuhnya, hatinya, mengenali semuanya.
“Satu janji telah diingat,” kata Ruvan. “Enam lagi menunggu.”
“Dan setiap janji akan menyakitkan seiring aku mengingatnya, ya?” tanya Amara lirih.
“Ya,” jawab Ruvan. “Karena janji yang dilupakan tak pernah benar-benar mati. Ia hanya menunggu untuk ditagih kembali.”
Pintu terbuka lagi. Mereka melangkah keluar. Dunia taman pernikahan masih membeku. Semua tetap sama. Tapi dalam dada Amara, sesuatu mulai mencair.
Waktu mungkin belum bergerak. Tapi dia tahu, tak lama lagi… dunia akan mulai berdetak kembali. Satu kenangan dalam satu waktu.
Berikan komentarmu