Bab 3: Janji Pertama—Di Bawah Pohon Hujan

Mereka kembali ke taman yang membeku. Suara jangkrik terhenti di udara. Tirai-tirai pesta bergoyang tapi tak pernah jatuh. Dan di tengahnya, Amara berdiri dengan jantung yang berat. Tangan Ruvan masih menggenggam miliknya, hangat, namun bukan kehangatan manusia biasa—melainkan kehangatan dari sesuatu yang pernah dikenalnya… entah kapan.

“Apakah setiap perjalanan akan terasa seasing ini?” gumam Amara tanpa menoleh.

“Tidak,” jawab Ruvan pelan. “Beberapa kenangan akan terasa seperti pulang.”

Mereka berjalan menuju kursi kosong itu lagi. Tapi kini, tepat di belakang kursi, muncul jalur baru. Jalur sempit berlapis kabut tipis, dihiasi dedaunan cokelat kemerahan yang berguguran meski tak ada angin.

“Di sini kita akan menemukan janji berikutnya,” ucap Ruvan.

Amara menghela napas, mencoba mengatur dirinya. Ia tak tahu mengapa hatinya mulai menghangat setiap kali mendengar suara pria itu. Padahal beberapa jam lalu ia hendak menikah dengan pria lain. Tapi rasa ini tak seperti cinta… lebih seperti kehilangan yang dirangkul kembali.

Langkah kaki mereka akhirnya membawa mereka ke sebuah lapangan luas yang ditumbuhi pohon tunggal raksasa. Di sekelilingnya, langit mendung menggulung, dan tanah basah seolah baru saja diterpa badai. Pohon itu berdiri sendiri, menjulang tinggi, cabang-cabangnya merentang melindungi tanah dari sisa hujan.

Dan di bawah pohon itu—dua versi kecil dari mereka berdiri saling membelakangi.

Amara kecil mengenakan mantel ungu yang lusuh. Ruvan kecil tampak memeluk lutut di bawah naungan pohon. Keduanya basah kuyup, dan dunia saat itu tengah dilanda hujan petir.

Amara dewasa menahan napas. “Aku… aku ingat. Ini hari di mana aku kabur dari rumah. Aku tak mau melihat orang tuaku bertengkar lagi.”

Ruvan menatap pohon itu. “Dan hari itu, kau menemukan aku lebih dulu dari siapa pun.”

Kenangan mulai bergerak seperti adegan film tua. Amara kecil duduk di samping Ruvan kecil, lalu perlahan menyodorkan payung lipat kecil dari tasnya.

“Kalau kita duduk diam cukup lama, mungkin hujan akan berhenti,” ucapnya. “Dan kalau tidak berhenti, kita bisa pura-pura dunia nggak ada.”

“Aku suka dunia yang nggak ada,” sahut Ruvan kecil.

Amara kecil tertawa, tapi kemudian suaranya berubah serius. “Kalau suatu hari kita tumbuh besar, dan semua orang berubah jadi asing, kita janji ya, akan selalu datang ke pohon ini. Walau cuma untuk diam.”

“Janji,” jawab Ruvan kecil. “Kalau kamu datang duluan, tunggu aku. Kalau aku datang duluan, aku akan jaga tempat dudukmu.”

Amara dewasa menutup mulutnya. Ia nyaris terisak. “Tapi aku nggak pernah kembali. Bahkan setelah puluhan tahun, aku lupa jalan ke pohon ini…”

“Kau datang. Di hari ini. Sekalipun waktu harus berhenti untuk membawamu kembali ke sini,” kata Ruvan.

Amara menatap pohon itu. Dunia sekelilingnya terasa basah dan pahit, namun juga hangat seperti panggilan masa kecil yang nyaris punah. Ia mendekat, menyentuh batang pohon yang kasar dan menyimpan ukiran samar: A + R. 1999.

Ia mengusap ukiran itu. “Aku bahkan lupa pernah mengukir ini…”

“Jiwamu tidak lupa,” bisik Ruvan. “Ia hanya menunggu waktu yang tepat untuk mengingat.”

Langit di atas mulai berubah warna. Mendung perlahan terangkat. Hujan yang membeku di ujung daun menetes, seolah waktu di dalam kenangan ikut mencair bersama air mata yang kini jatuh di pipi Amara.

“Kau tahu, waktu aku menulis undangan pernikahan, aku merasa sangat kosong. Seperti ada ruang di hatiku yang tidak bisa dipenuhi siapa pun. Dan aku pikir itu hanya keraguan biasa,” ucap Amara lirih.

“Itu bukan keraguan,” sahut Ruvan. “Itu lubang dari janji yang belum ditepati.”

Amara berbalik menatapnya. “Apakah semua ini berarti aku ditakdirkan bersamamu? Bahwa semua yang terjadi selama hidupku hanya jalur memutar untuk kembali ke titik ini?”

Ruvan menatapnya lama. “Aku tidak akan memaksamu mempercayai takdir. Tapi aku ingin kau mengingat bahwa cinta yang tidak diselesaikan, tetap hidup dalam bentuk lain. Dalam waktu, dalam mimpi, bahkan dalam hujan.”

Mereka berdiri bersama di bawah pohon. Dunia mulai bergerak sedikit demi sedikit—angin terasa kembali. Aroma tanah basah menyentuh hidung mereka. Pohon itu seperti bernapas, dan langit tidak lagi kelabu.

Amara menyentuh dadanya sendiri. “Janji kedua sudah kutemukan.”

“Masih ada lima lagi,” kata Ruvan. “Dan setiap janji akan membawa kita ke masa di mana cintamu terbelah… antara yang kau jaga dan yang kau tinggalkan.”

Amara menatap langit. Ia tahu ia belum siap kehilangan semua yang ia kenal. Tapi ia juga tahu… hatinya mulai mengenali sesuatu yang pernah hilang. Sesuatu yang tak bisa dibeli oleh waktu atau logika.

Sesuatu yang mungkin bernama takdir yang tertunda.


Got an error? Report now
Comments

Comments [0]