Bab 4: Janji Kedua—Surat yang Tak Pernah Dibaca
Waktu kembali beku begitu mereka meninggalkan bayangan pohon tua itu. Dunia pernikahan tetap diam, tertinggal di belakang seperti panggung kosong yang menunggu lakon selanjutnya. Tapi di dalam dada Amara, suara-suara kenangan mulai berdetak pelan. Setiap langkahnya bersama Ruvan seperti menarik kembali serpihan dirinya yang pernah tercerai.
“Kenapa aku tak pernah mencari semua ini lebih awal?” gumam Amara lirih saat mereka melewati jalur cahaya baru yang muncul di tengah taman.
“Karena hidupmu dipenuhi hal-hal yang terasa cukup,” jawab Ruvan. “Tapi cukup bukan berarti benar.”
Jalur itu menurun menuju sebuah bangunan tua. Amara langsung mengenalinya. Sekolah menengah atasnya—dengan gerbang besi hitam yang berkarat, dan papan nama yang setengah tertutup semak. Ia menatap Ruvan dengan napas tercekat.
“Aku tidak suka tempat ini,” bisiknya.
“Kau pernah menulis kalimat itu juga. Di surat yang tak pernah kau kirimkan,” sahut Ruvan.
Mereka melangkah masuk. Lantai koridor terasa dingin dan lembab. Lampu-lampu di langit-langit redup. Suara langkah kaki mereka menggema seperti gema masa lalu yang tak ingin dibangunkan.
Mereka berhenti di depan loker besi tua berwarna biru.
Amara menyentuh permukaannya dengan ragu. “Lokerku…”
Ia membuka pintunya perlahan. Di dalamnya, terselip selembar kertas lipat yang sudah kekuningan. Tangannya gemetar saat mengambilnya.
Tulisan tangan remaja terpampang jelas di sana:
Untuk seseorang yang selalu berdiri diam di ujung lapangan.
Aku tidak tahu siapa kamu. Tapi setiap kali aku melihatmu, rasanya seperti melihat seseorang yang pernah aku tunggu…
Kalau suatu hari nanti aku berani, aku ingin menyapamu. Atau bahkan sekadar mengucapkan terima kasih karena sudah membuat hatiku merasa tidak sendiri, walau hanya lewat tatapan singkat.
Kalau surat ini sampai ke tanganmu, berarti aku benar-benar berani. Tapi jika tidak… biarkan surat ini jadi janji yang kusimpan diam-diam.
Amara menutup surat itu. Air matanya jatuh tanpa ia sadari. “Aku ingat sekarang. Aku menulis ini setelah melihat seseorang yang selalu duduk sendirian setiap istirahat, membaca buku tanpa pernah tersenyum.”
“Itu aku,” kata Ruvan lembut.
“Kau selalu tampak seperti… bukan bagian dari sekolah ini. Seolah kau hanya singgah sementara,” lanjut Amara. “Tapi aku takut mendekat. Jadi aku memilih diam. Dan surat ini tak pernah kuberikan. Aku membakarnya, bukan?”
“Tidak. Kau menyimpannya di sini, berharap suatu hari akan cukup berani untuk mengirimkannya. Tapi sebelum hari itu datang, aku dipindahkan secara tiba-tiba.”
Amara terduduk di lantai, lututnya lemas. “Aku lupa bagaimana rasanya jadi remaja yang penuh keraguan. Aku lupa betapa banyak janji yang kubuat untuk diriku sendiri dan tak pernah kutepati.”
“Janji ini bukan untuk orang lain,” ucap Ruvan, berlutut di sampingnya. “Janji ini adalah tentang keberanianmu sendiri. Tentang keinginanmu untuk mencintai tanpa ketakutan.”
Ia menatapnya dalam. “Dan tentang keyakinan bahwa cinta bisa muncul dari tatapan yang nyaris tak pernah disadari siapa pun.”
Amara menggenggam surat itu erat, seolah dengan begitu ia bisa menahan versi lamanya yang nyaris hilang. Surat itu terasa seperti bagian dari dirinya yang selama ini terkubur dalam tumpukan keputusan dewasa.
“Apakah setiap janji seperti ini?” bisiknya. “Begitu sederhana, tapi menyakitkan karena tak pernah selesai?”
“Karena janji tidak selalu soal kata-kata besar,” jawab Ruvan. “Kadang ia hanya niat kecil yang tidak pernah kau tindaklanjuti. Dan dalam dunia seperti ini, setiap niat memiliki jiwanya sendiri. Termasuk surat ini.”
Amara memejamkan mata. Dunia di sekelilingnya berguncang pelan, seperti dinding-dinding sekolah mulai runtuh secara perlahan. Cahaya masuk dari jendela-jendela yang sebelumnya gelap. Surat di tangannya berpendar sebentar lalu lenyap seperti debu yang dilepaskan angin.
Ia menatap kosong. “Janji itu sudah ditebus.”
Ruvan mengangguk. “Kau sudah memaafkan dirimu sendiri.”
Mereka berjalan keluar dari sekolah itu, menyusuri koridor yang kini terasa lebih terang. Pohon-pohon di halaman bergoyang pelan. Langit tak lagi kelabu. Dan ketika mereka melangkah melewati gerbang besi, dunia membeku kembali.
Kembali ke taman. Kembali ke pesta yang belum bergerak.
Tapi sesuatu telah berubah.
Kursi kosong itu tak lagi terasa dingin atau menyeramkan. Ia hanya sunyi. Sunyi yang menunggu sesuatu dipenuhi. Dan kini, dua dari tujuh beban telah diangkat dari ruang antara waktu.
Amara menatap Ruvan lama. “Berapa janji lagi yang kutinggalkan di sepanjang hidupku?”
“Cukup banyak untuk membuat waktu berhenti. Tapi cukup sedikit untuk kau selesaikan jika berani,” jawab Ruvan. “Selanjutnya… kita harus kembali ke dunia yang tidak pernah terjadi.”
Amara memiringkan kepala. “Dunia yang tidak pernah terjadi?”
Ruvan menatap jauh ke ujung taman, di mana portal kabut mulai terbentuk. “Dunia tempat kita sempat hidup sebagai sepasang kekasih, tapi ditelan kehancuran. Di sana, janji ketiga menunggumu. Dan kali ini… kau akan menyaksikan apa jadinya cinta yang gagal menyeberang takdir.”
Berikan komentarmu