Bab 5: Janji Ketiga—Pelukan di Bawah Langit Merah
“Tempat ini bukan masa lalu yang kau kenal,” ucap Ruvan di sampingnya. “Ini dimensi yang tidak pernah diberi izin untuk hidup.”
“Bagaimana bisa aku pernah ada di dunia yang tidak pernah ada?” tanya Amara pelan.
“Karena jiwamu lebih tua dari hidupmu. Dan janji… bisa melintasi realitas.”
Mereka melangkah bersamaan ke dalam kabut. Dalam sekejap, dunia taman menghilang. Suara gemerisik lenyap. Waktu tak lagi terasa seperti detik-detik—melainkan seperti nafas panjang yang ditahan semesta.
Saat kabut menghilang, mereka berdiri di tengah kota yang asing. Langit di atas mereka merah gelap, seperti senja yang tak pernah usai. Bangunan-bangunan menjulang tinggi, tetapi terlihat rusak, terbakar, dan ditinggalkan. Udara terasa berat, penuh debu dan kenangan pahit.
“Tempat apa ini?” tanya Amara, matanya menyapu jalanan kosong.
“Dunia yang kita bangun bersama. Sebuah semesta paralel, terbuat dari harapan kita… tapi gagal bertahan,” jawab Ruvan. “Dan di sini, kita pernah saling memilih. Sepenuhnya.”
Langkah mereka membawa mereka ke sebuah apartemen reyot di ujung jalan. Ruvan mendorong pintunya perlahan, dan dunia di dalamnya terasa jauh lebih hidup dibandingkan luar sana.
Sebuah ruang kecil dengan rak buku, tanaman kering di jendela, dan dua cangkir teh yang tak pernah selesai diminum. Amara menatap sekeliling dengan napas tercekat. Ada foto dirinya di dinding—tersenyum sambil bersandar di bahu Ruvan.
“Aku… tinggal di sini?” bisiknya.
“Kau bahagia di sini,” jawab Ruvan. “Kita berdua bahagia. Tapi dunia ini tak stabil. Karena ia dibangun dari niat yang ditinggalkan. Dan ketika janji kita tak ditepati, segalanya runtuh.”
Amara mendekati meja, melihat secarik kertas yang tertinggal di atasnya. Isinya adalah tulisan tangannya sendiri:
Jika dunia ini hancur, aku janji akan tetap memelukmu di dunia lain.
Di bawah langit merah, kita akan saling temukan lagi. Apapun yang terjadi.
Tangannya gemetar. “Aku menulis ini?”
“Di saat dunia mulai runtuh. Ketika semua mulai meledak dan waktu mulai terpecah,” kata Ruvan. “Kau bilang, ‘kalau aku tidak bisa menyelamatkanmu di sini, aku akan mencarimu di dunia lain.’ Tapi saat waktunya tiba, kau melupakan semuanya.”
Tiba-tiba dunia berguncang. Dinding apartemen retak. Langit merah di luar berdenyut seperti jantung yang tak teratur. Ruvan menatap Amara penuh kesedihan.
“Tempat ini tidak bisa bertahan lama. Ini hanya sisa dari realitas yang hampir terhapus,” ucapnya.
Amara menggigit bibir. “Apa yang harus kulakukan untuk memenuhi janji ini?”
Ruvan mendekat. Ia mengangkat tangannya pelan, menyentuh pipi Amara seperti seseorang yang menyentuh kenangan yang hampir hilang.
“Peluk aku. Seperti dulu. Sebelum semuanya menghilang.”
Amara memandangnya dalam. Mata itu… entah bagaimana, ia merasa pernah mencintainya. Cinta yang tidak logis, tidak bisa dijelaskan, tapi hidup di lapisan jiwanya yang paling dalam.
Ia melangkah maju dan merangkulnya.
Dalam sekejap, dunia di sekitar mereka meledak dalam cahaya merah terang. Tapi bukan kehancuran yang datang—melainkan rasa utuh. Seperti dua bagian jiwa yang akhirnya bertemu kembali setelah ribuan waktu yang saling menjauh.
Amara menangis dalam pelukan itu. Bukan karena kesedihan, tapi karena ia akhirnya tahu: ia pernah menjadi milik seseorang sepenuhnya, bahkan jika dunia itu tak pernah ada di dalam sejarah manusia.
Perlahan, dunia di sekitar mereka menghilang, seperti pasir yang ditiup angin. Tapi pelukan itu tetap ada. Dan saat mereka kembali ke taman beku, Amara masih bisa merasakan detak jantung Ruvan di dadanya.
“Janji ketiga… telah ditepati,” bisik Ruvan.
Amara mengangguk pelan, meski matanya masih basah. Ia menatap kursi kosong itu lagi. Tapi kini, ia tahu kursi itu tak sekadar kosong. Ia adalah tempat semua cinta yang pernah gagal menunggu untuk diselesaikan.
Dan dari tiga janji yang telah ditepati, Amara mulai mengerti satu hal: mungkin ia tak pernah benar-benar memilih hidup yang ia jalani sekarang. Mungkin, semua ini hanyalah perpanjangan dari penundaan yang panjang.
“Empat janji lagi,” kata Ruvan.
Amara mengangguk. “Aku siap. Meski harus kehilangan semuanya, aku ingin tahu siapa sebenarnya diriku… dan siapa sebenarnya kamu.”
Dan di balik semesta yang masih beku, cinta yang tak pernah hidup mulai tumbuh lagi perlahan, tapi pasti.
Berikan komentarmu