Bab 6: Janji Keempat—Lagu yang Tak Pernah Selesai
Hening menggantung di taman beku seperti kabut tipis yang tak mau pergi. Tiga janji telah ditepati, namun Amara merasa dadanya justru makin berat. Bukan karena takut—melainkan karena terlalu banyak hal yang selama ini tersembunyi di balik hidup yang ia pikir biasa saja.
“Apa janji berikutnya?” tanya Amara pelan, menatap Ruvan yang berdiri di samping kursi kosong.
Ruvan tak langsung menjawab. Ia menoleh ke langit, dan di sana, muncul celah cahaya berbentuk spiral—melodi samar terdengar dari dalamnya, seperti dentingan piano yang dimainkan oleh tangan yang ragu.
“Janji yang lahir dari lagu,” katanya. “Sebuah melodi yang kita ciptakan bersama, tapi tak pernah selesai.”
Amara menatap langit itu lama. “Aku… tidak pernah belajar musik.”
“Di hidupmu yang sekarang, mungkin tidak,” kata Ruvan. “Tapi musik pernah menjadi bahasa hati kita. Janji itu bukan tentang bakat, tapi tentang kebersamaan yang tak sempat diabadikan.”
Mereka melangkah masuk ke dalam cahaya spiral. Dunia di sekeliling berubah. Mereka kini berada di dalam sebuah studio musik tua—cat dindingnya pudar, kabel berserakan di lantai, dan di sudut ruangan, berdiri sebuah piano cokelat dengan kunci-kunci menguning.
Amara menyentuhnya perlahan. “Aneh… jemariku seperti tahu harus memencet yang mana.”
Ruvan duduk di kursi di sampingnya. “Itulah jiwa yang mengingat. Bahkan ketika akal melupakan.”
Ia mengambil biola tua dari sudut ruangan, memposisikannya di pundak, lalu menarik busur perlahan. Denting pertama membuat ruangan bergetar lembut. Lalu Amara, tanpa sadar, memainkan dua nada pendek—sebuah melodi yang asing namun terasa begitu akrab.
Tangan mereka bergerak bersama. Piano dan biola saling menyahut. Lagu itu seperti hidup, tumbuh di antara mereka, menjelma menjadi sesuatu yang utuh.
Namun di tengah lagu, Amara berhenti.
“Ada bagian yang hilang,” bisiknya.
Ruvan menunduk. “Kau pernah menulis lirik untuk lagu ini. Tapi kau menyobeknya sebelum sempat dinyanyikan.”
Amara menarik napas dalam-dalam. “Kenapa aku melakukannya?”
“Karena saat itu kau percaya kau tidak layak bahagia. Kau takut pada perasaan yang tumbuh. Takut pada dunia yang tidak menjanjikan akhir yang indah.”
Amara menutup matanya. Dalam bayangannya, ia melihat potongan masa lalu: dirinya duduk di studio ini, menatap Ruvan yang sedang mengatur mikrofon, lalu menyelipkan secarik kertas lirik ke dalam buku nada, hanya untuk merobeknya saat pintu tertutup.
Lirik itu kini perlahan muncul di udara, ditulis oleh cahaya:
“Jika suatu hari suara kita tak terdengar,
Peluk aku lewat nada yang kau simpan.
Dan jika dunia berhenti bernyanyi,
Biar jiwaku terus menyuarakan namamu.”
Amara terisak. “Itu lirikku… aku ingat sekarang.”
Ia menatap Ruvan, dan dalam tatapan itu, ada luka yang tak pernah mereka sembuhkan. Bukan karena saling menyakiti, tapi karena saling meninggalkan demi alasan yang mereka pikir mulia.
“Aku takut saat itu. Takut jika mencintaimu akan merusak semua yang ada.”
“Dan justru karena kita saling menjauh, lagu ini tak pernah selesai,” jawab Ruvan lembut. “Tapi sekarang… kita bisa menyelesaikannya bersama.”
Ia memainkan biola sekali lagi. Amara menutup mata dan mulai menyanyikan lirik itu, pelan, serak, tapi jujur. Suaranya seperti luka yang menyembuhkan dirinya sendiri.
Nada terakhir menggema lama di udara sebelum semuanya diam.
Lagu itu selesai.
Dan dunia studio perlahan menghilang, digantikan kembali oleh taman beku.
Namun ada yang berubah. Seekor burung kecil kini bergerak di dahan pohon, menggoyangkan daun. Itu tanda kecil, tapi nyata: dunia mulai bangkit dari diamnya.
“Empat janji telah ditepati,” ucap Ruvan. “Dan lagu kita tak lagi tergantung di udara. Ia hidup di dalammu sekarang.”
Amara menatap langit taman yang mulai memudar kabutnya. “Aku tidak tahu cinta bisa menyeberang dimensi, melintasi waktu, dan hidup dalam melodi.”
“Karena cinta bukan hanya soal kehadiran. Tapi tentang keberanian untuk menyelesaikan hal yang pernah kita biarkan tergantung.”
Amara menunduk. Dalam hatinya, ia tak lagi ragu bahwa dirinya dulu pernah mencintai Ruvan. Mungkin lebih dalam dari siapa pun. Dan sekarang, perasaan itu mulai tumbuh kembali… bukan karena masa lalu, tapi karena janji-janji yang sedang mereka pulihkan bersama.
“Apa janji berikutnya?” tanyanya.
Ruvan menatap jauh ke arah bayangan taman. “Sesuatu yang tak pernah kau pegang… tapi pernah ingin kau kenakan seumur hidup.”
Amara mengerutkan dahi. “Cincin?”
Ruvan mengangguk pelan. “Cincin yang tak sempat memiliki pemilik.”
Berikan komentarmu