Bab 7: Janji Kelima—Cincin Tanpa Pemilik

Taman mulai berubah. Udara yang tadinya membeku kini menghangat perlahan, seperti dunia sedang menarik napas pertamanya setelah tertidur terlalu lama. Daun-daun yang semula kaku bergoyang pelan. Tapi waktu belum sepenuhnya kembali—hanya memberikan jeda bagi dua jiwa yang sedang membenahi benang-benang takdirnya.

“Cincin…” gumam Amara sambil mengikuti langkah Ruvan menuju jalur yang muncul dari cahaya jingga di bawah akar pohon.

Langkah mereka terasa berbeda kali ini. Bukan lagi ragu, tapi seperti melangkah menuju sesuatu yang pernah menjadi milik mereka. Di depan sana, terbuka pemandangan luas: sebuah padang rumput yang disinari matahari senja, dan di tengahnya berdiri sebuah rumah kayu sederhana.

Amara mengenali tempat itu seketika. Meski belum pernah benar-benar ada di sana.

“Aku pernah memimpikan rumah ini,” bisiknya. “Berkali-kali. Tapi aku selalu bangun sebelum sempat masuk.”

“Kau tidak pernah masuk, karena sesuatu dalam dirimu menolak untuk mengingat,” kata Ruvan pelan. “Tapi ini rumah yang pernah ingin kita tinggali. Rumah yang kau gambar, rumah yang kubangun untukmu dalam dunia yang gagal.”

Mereka melangkah ke beranda. Di sana, angin membawa suara samar tawa masa lalu. Ketika Ruvan membuka pintu rumah itu, waktu dalamnya seolah tak terpengaruh kehancuran di luar. Hangat. Damai. Wangi kayu dan kopi. Di sudut meja kecil, terdapat kotak kecil beludru tua.

Amara menatap kotak itu lama. Ia tak berani menyentuhnya.

“Kau pernah memberiku kotak ini,” kata Ruvan. “Tapi tanpa isi. Katamu, kalau suatu hari aku yakin, aku boleh mengisinya dengan cincin yang benar-benar bermakna.”

Amara mendekat perlahan. Tangannya gemetar saat meraih kotak itu. Ketika dibuka, di dalamnya kosong—tetapi di balik penutup, tersemat kertas kecil bertuliskan tangannya sendiri:

“Jika kamu masih mencintaiku setelah semua waktu yang tidak kita miliki,
masukkan cincinmu di sini. Dan kita akan mulai dari awal, di mana pun itu.”

Amara menutup mata. Air matanya jatuh tanpa bisa dicegah. “Aku yang menulis ini… di dunia yang tak pernah terjadi. Tapi rasanya seperti aku menulisnya kemarin.”

“Kau menulisnya di malam saat dunia kita akan runtuh,” kata Ruvan. “Kau tahu tak ada waktu lagi, tapi masih percaya pada awal baru.”

Tiba-tiba, meja kecil di depan mereka bergetar. Cahaya merah muncul dari celah kayunya, membentuk sesuatu—sebuah cincin perak dengan ukiran kecil di bagian dalam. Bukan emas, bukan berlian. Hanya sederhana. Tapi penuh makna.

Amara memegangnya. “Kenapa terasa berat… seperti menyentuh seluruh masa lalu yang tidak pernah kujalani?”

“Karena itu memang milikmu,” jawab Ruvan. “Cincin yang tak pernah sempat kau pakai, karena dunia memilih membatalkan kita. Tapi janji tetap hidup. Dan sekarang… kau bisa menepatinya.”

Amara menatap Ruvan dalam-dalam. “Apa kau masih mencintaiku… setelah semua ini?”

“Aku tidak pernah berhenti,” jawabnya, tulus, tanpa ragu.

Dalam hening yang panjang, Amara membuka kotak itu dan meletakkan cincinnya di dalam.

Seketika, rumah itu memudar. Langit senja berubah terang. Angin meniup jendela, dan dunia di sekeliling mereka runtuh pelan-pelan seperti kabut yang terbakar cahaya.

Mereka kembali ke taman. Tapi kali ini, sesuatu telah berubah lagi.

Cahaya lembut mengelilingi kursi kosong. Dan untuk pertama kalinya, kursi itu tidak tampak kosong. Ada bayangan samar dari semua janji yang telah ditepati—pohon hujan, surat yang terbakar, pelukan langit merah, lagu yang selesai, dan cincin yang kini memiliki makna.

Amara duduk di rerumputan, memandangi bayangan itu dengan napas berat. “Aku mulai takut…”

“Takut pada apa?” tanya Ruvan, berdiri di sampingnya.

“Takut kalau aku kembali ke hidupku, aku harus menjalani semuanya tanpa mengingatmu lagi. Takut semua ini hanya sementara.”

Ruvan berlutut di hadapannya. “Itu bukan hal yang bisa kau kendalikan. Tapi janji tidak butuh ingatan untuk hidup. Ia hanya butuh keberanian untuk menepatinya, meski dunia melupakannya lagi.”

Amara menggenggam tangannya erat. “Aku tidak ingin melupakanmu lagi.”

“Dan aku tidak akan pergi, selama janji ini tetap dijaga.”

Matahari di taman itu mulai tampak utuh. Dan meski dunia masih beku, burung-burung mulai bergerak. Air mulai menetes dari daun. Dunia perlahan bangkit.

Tapi masih ada dua janji tersisa.

Dan janji berikutnya bukan tentang cinta. Tapi tentang kehilangan yang pernah menghancurkan segalanya. Tentang kematian yang tidak pernah diucapkan… dan janji yang dibuat di antara air mata.
Got an error? Report now
Comments

Comments [0]