Bab 8: Janji Keenam—Kematian yang Terlupakan

Taman kini terasa hidup meski belum sepenuhnya bergerak. Angin perlahan menyentuh helai rambut Amara. Langit mulai terbuka, seolah dunia memberi jalan bagi dua jiwa yang sedang menebus luka-luka tak kasat mata. Tapi suasana berubah lebih kelam ketika Ruvan berkata pelan, “Janji selanjutnya… adalah yang paling berat.”

Amara menoleh. “Karena tentang kematian?”

Ruvan mengangguk. “Tentang kepergian yang tak sempat diikhlaskan. Dan kata-kata yang tidak pernah selesai kau ucapkan.”

Celah cahaya terbuka di depan mereka, kali ini berbentuk seperti gerbang batu tua. Di baliknya, tampak padang berkabut, suram, dengan cahaya senja yang tidak hangat. Mereka melangkah masuk. Kabut langsung menyelimuti kulit mereka, dan suara-suara aneh terdengar di kejauhan—tangisan, bisikan, desahan rindu yang tertahan.

Amara berjalan perlahan. Hatinya seperti digiring menuju sesuatu yang belum siap ia hadapi.

Di ujung padang itu, terbentang pemakaman tua. Barisan nisan berdiri senyap. Tapi di antara semuanya, ada satu makam yang tampak lebih terang daripada yang lain. Tanahnya basah, dan di sampingnya, ada seseorang berdiri.

Amara terpaku. Itu dirinya—versi dirinya yang lebih muda, mengenakan gaun hitam, wajahnya kosong dan lelah. Di sebelahnya, ada keranda yang baru diturunkan. Udara dipenuhi hujan gerimis yang tak terasa dingin, hanya menyayat pelan.

“Siapa… yang mati?” tanya Amara nyaris berbisik.

Ruvan menatapnya dalam. “Aku.”

Amara mematung. “Apa maksudmu?”

“Di salah satu dunia, aku mati saat mencoba menyelamatkanmu. Dunia itu hampir runtuh karena janji-janji kita tidak dijaga. Dan saat tubuhku hancur, kau berjanji pada dirimu sendiri bahwa kau akan melupakan semuanya agar bisa bertahan hidup.”

Amara menatap makam itu. Perlahan kenangan mulai muncul—ia berada di tengah kehancuran, api di mana-mana, tubuh Ruvan yang terluka parah di pelukannya. Dan sebelum napas terakhir, ia berkata:

“Jika aku mati… jangan simpan kesedihan ini. Janjikan padaku kau akan bahagia, meski tanpaku.”

Tapi Amara tak pernah menepatinya. Ia membekukan seluruh kenangan itu, menghapusnya dari ingatan, dan membiarkan dunia membuatnya percaya bahwa cinta itu hanyalah mimpi buruk yang layak ditinggalkan.

Tangis meledak dalam dirinya. “Aku tidak pernah menepatinya… Aku bahkan menikahi orang lain.”

“Kau tidak salah,” kata Ruvan lembut. “Kau mencoba bertahan. Tapi janji itu tetap hidup. Dan kini, kau diberi kesempatan untuk menepatinya.”

Amara mendekati makam itu, lututnya bergetar. Ia menyentuh nisan batu yang diukir tanpa nama. Hanya ada satu kalimat:

“Kepada jiwa yang memilih mencintai dalam diam.”

Ia menutup mata. “Ruvan… aku minta maaf. Aku terlalu takut untuk menerima kehilanganmu. Jadi aku memilih hidup tanpa ingatan. Tapi itu bukan kebahagiaan. Itu kehampaan yang kubungkus rapi.”

Ruvan mendekat, berdiri di belakangnya. “Dan sekarang kau telah mengingat. Itu cukup untuk melepaskan janji ini.”

Amara berdiri perlahan. Ia menatap makam itu sekali lagi, lalu berkata dengan suara yang gemetar namun mantap, “Aku berjanji… aku akan bahagia. Aku akan hidup, sepenuhnya. Bukan sebagai pelarian, tapi sebagai penghormatan untukmu.”

Angin berputar lembut. Kabut mulai menipis. Hujan berhenti. Dan nisan itu perlahan memudar, digantikan oleh cahaya tenang yang menyebar ke seluruh padang.

Ketika mereka melangkah kembali ke gerbang, Amara tahu beban di dadanya telah berkurang. Bukan karena ia melupakan, tapi karena ia akhirnya menerima.

Kembali ke taman, langit kini benar-benar biru. Rerumputan bergerak. Satu per satu tamu pernikahan mulai menggeliat. Beberapa jari, kelopak mata, dan napas mereka perlahan kembali seperti manusia hidup. Tapi waktu belum sepenuhnya pulih. Masih ada satu janji yang belum ditepati.

Ruvan berdiri di samping kursi kosong, menatapnya penuh keteduhan.

“Janji terakhir…” katanya, “…adalah janji pertama yang pernah kau buat. Sebelum semua dunia tercipta. Sebelum kau mengenalku sebagai siapa pun.”

Amara mengangkat wajahnya. “Apa itu?”

“Janji untuk tidak pernah menduduki kursi ini… jika kau belum siap mengingat segalanya.”


Got an error? Report now
Comments

Comments [0]