Bab 9: Janji Ketujuh—Jangan Duduki Kursi Itu
Taman kembali dalam senyap. Tapi bukan senyap yang beku seperti sebelumnya. Ini adalah senyap sebelum sesuatu yang besar terjadi. Semua terasa ringan, namun sarat makna. Seolah dunia menahan napasnya menanti keputusan terakhir.
Amara berdiri di depan kursi kosong itu. Kini ia tidak merasa takut seperti dulu. Tidak ada lagi aura dingin yang menghalangi. Kursi itu hanya sebuah tempat biasa—kayu tua dengan ukiran halus di sisi sandarannya. Tapi maknanya… jauh dari biasa.
“Janji terakhir ini…” Amara menatap Ruvan. “Aku membuatnya sebelum semua ini dimulai?”
Ruvan mengangguk. “Sebelum semua dunia tercipta. Sebelum cinta, kehilangan, dan pengkhianatan. Sebelum waktu memecah kita menjadi serpihan janji yang berserakan.”
Amara perlahan melangkah mengelilingi kursi itu. Dalam benaknya, suara-suara samar mulai terdengar. Tawa. Isak. Nyanyian. Bisikan. Semua kenangan dari enam janji yang telah ditepati berputar seperti angin, menyelimutinya.
“Aku tidak mengerti… mengapa aku membuat janji untuk tidak mendudukinya?” bisiknya.
Ruvan menatap lembut. “Karena kau tahu, sekali kau duduk… semua akan kembali. Ingatanmu, rasa sakitmu, rasa cintamu. Kau akan kembali menjadi dirimu yang utuh—yang tahu bahwa dunia ini bukan satu-satunya kehidupan yang pernah kau jalani.”
Amara menyentuh sisi kursi. Ia bisa merasakan denyut dari dalam kayunya. Seperti jantung yang pernah berhenti berdetak, kini hidup kembali.
“Kalau aku duduk… apa yang terjadi dengan hidupku sekarang? Dengan Evan, dengan pernikahan ini?” tanyanya lirih.
“Kau akan melihatnya apa adanya. Bukan dari ingatan yang dibentuk oleh ketakutan dan pelarian, tapi dari kebenaran jiwamu sendiri,” jawab Ruvan. “Dan kau harus memilih—melanjutkan hidup yang telah kau bangun, atau menerima siapa dirimu sebenarnya… meski itu berarti kehilangan semua yang telah kau miliki.”
Amara memejamkan mata. Di dalam kegelapan itu, ia melihat versi dirinya yang lain—tersenyum dengan Evan, hidup sederhana, tenang, tapi selalu terasa ada ruang kosong di dadanya. Ia juga melihat dirinya bersama Ruvan—dalam dunia-dunia yang runtuh, dalam lagu, dalam pelukan di bawah langit merah, dalam cinta yang terus gagal tapi tak pernah padam.
“Satu kursi…” gumamnya. “Satu keputusan yang akan mengubah semuanya.”
Ia membuka mata. Menatap Ruvan. “Kalau aku duduk… apa kamu akan tetap di sini?”
Ruvan tersenyum, namun matanya sayu. “Jika kau duduk… kau tidak butuh aku lagi untuk mengingat. Karena semuanya akan menjadi bagian dari dirimu. Dan saat itu, aku bukan lagi bayangan dari janji, tapi kenyataan yang kau pilih untuk jalani atau tinggalkan.”
Amara menarik napas panjang. “Lalu… jika aku tidak duduk?”
“Waktu akan berjalan lagi. Pernikahan akan dilanjutkan. Semua akan melupakan kejadian ini, termasuk kau. Tapi lubang di dalam dadamu… akan tetap ada,” ucap Ruvan pelan.
Ia menatap kursi itu sekali lagi. Semua kenangan, semua rasa, semua luka dan cinta yang telah ia temukan, mengalir di sekujur tubuhnya.
Dan akhirnya, tanpa kata, Amara duduk.
Seketika, dunia seperti menarik napas besar. Kursi itu menyala lembut. Tanah bergetar pelan. Langit terbuka—menampilkan serpihan waktu yang selama ini tersembunyi. Cahaya melingkupi tubuh Amara, dan dari dalam dirinya, kenangan-kenangan yang tercecer mulai menyatu.
Ia ingat semuanya.
Ia ingat semua dunia yang pernah ia tinggali.
Ia ingat semua janji yang pernah ia buat, dan semua cinta yang pernah ia beri.
Ia ingat rasa takut… dan keberanian yang tumbuh dari pecahnya hati.
Air mata mengalir dari sudut matanya. Tapi bukan karena sedih. Melainkan karena akhirnya ia kembali menjadi dirinya yang utuh.
Ruvan berdiri di depannya, tapi kini bukan sebagai bayangan atau sosok asing.
Ia adalah bagian dari dirinya. Seorang yang pernah ia cintai, kehilangan, dan pilih berkali-kali.
“Sekarang kau tahu,” kata Ruvan.
Amara mengangguk. “Dan aku tahu… aku tak bisa hidup tanpa setengah dari diriku lagi.”
Tapi sebelum ia sempat menggenggam tangan Ruvan, tubuh pria itu mulai memudar perlahan. Tidak menyakitkan, tidak tragis—hanya seperti embun yang kembali ke udara.
“Kenapa kau menghilang?” tanya Amara, suaranya pecah.
“Karena tugasku sudah selesai,” jawab Ruvan dengan senyum hangat. “Kini pilihanmu bukan tentang masa lalu atau masa depan. Tapi tentang apa yang benar-benar kau inginkan.”
“Ruvan…” bisiknya.
“Jika cinta kita nyata, kau akan tahu ke mana harus melangkah. Dunia tidak akan lagi membekukanmu. Sekarang… kembalilah. Pilihlah dengan utuh.”
Dan dalam sekejap, cahaya di sekeliling mereka meledak pelan. Taman kembali. Musik kembali terdengar. Para tamu bergerak. Evan menatap Amara yang kini sudah berdiri di depan altar.
Semua seperti semula.
Kecuali satu hal Amara bukan lagi wanita yang sama.
Berikan komentarmu